Binjai – metrolangkat-binjai.com
Saiful ST, SH, MH, M.Th, selaku kuasa hukum dari terdakwa Dwi Riko Susanto yang berkedudukan sebagai Direktur PT. Susanto Dwi Rezeki dalam perkara yang dipermasalahkan oleh Penyidik Direktorat Kantor Pajak Wilayah l Sumut, mengaku kecewa atas penyidikan yang sudah dilakukan oleh mereka.
Sebab menurut Saiful, dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat Kantor Pajak Wilayah l Sumut, banyak terdapat kejanggalan maupun cacat formil yang sudah dilakukan.
Hal tersebut ditegaskan Saiful saat dikonfirnasi awak media di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Binjai, Selasa (29/5) usai menghadiri persidangan yang akhirnya ditunda dikarenakan tidak hadirnya staff ahli perpajakan yang akan dihadirkan oleh Penyidik Direktorat Kantor Pajak Wilayah l Sumut di dalam persidangan.
Foto : Kus
“Selaku kuasa hukum, kami menganggap bahwa terlalu banyak cacat formil dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pajak,” ucapnya.
Dirinya dengan tegas juga mempertanyakan kinerja dari Penyidik Pajak tersebut. Sebab menurutnya, bagaimana bisa mempersangkakan seseorang karena diduga telah merugikan pendapatan keuangan negara, namun tidak mampu mengidentifikasikan yang mana poinnya serta nominal jumlahnya.
“Pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa diproses hukum atau dimintai pertanggungjawaban hukumnya bila penyidiknya tidak mampu meidentifasikan yang mana telah merugikan pendapatan keuangan negara serta jumlahnya. Apalagi didalam persidangan, terbukti tidak ada faktur yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya,” jelasnya.
Diakui Saiful, persidangan yang dilakukan pada hari ini atasnama terdakwa Dwi Riko Susanto, dan kedudukannya sebagai Direktur PT. Susanto Dwi Rezeki, terkait kasus yang dipermasalahkan oleh Penyidik Direktorat Kantor Pajak Wilayah l Sumut karena telah menggunakan faktur PPN yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
“Jadi dalam kasus ini, terdakwa didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 39A junto Pasal 43, dan Pasal 39 ayat (1) junto Pasal 43 Undang Undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,” urai Saiful, sembari mengatakan bahwa persidangan yang dilakukan pada hari ini sudah yang ke-enam kalinya digelar di PN Binjai.
Namun dikatakan Saiful, dari sejak awal dakwaan dibacakan, serta JPU sudah menghadirkan saksi saksi yang menguatkan dakwaan, faktanya tidak ditemukan adanya keterangan maupun kesaksian dari para saksi yang menyatakan adanya faktur pajak PPN yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
“Jadi saksi fakta dalam perkara ini bernama Eka Septian. Yang bersangkutan adalah pemilik dari dua perusahaan, yaitu PT. Eka Tri Mandiri, dan CV Sukses Mandiri. Kedua perusahaan ini pada tahun 2013, 2014 dan 2015, melakukan penjualan pupuk non subsidi kepada terdakwa atau kepada perusahaannya yaitu PT. Susanto Dwi Rezeki,” beber Saiful.
“Bahkan ketlka dihadapan persidangan, saksi tersebut juga mengatakan bahwa semua faktur PPN yang dibukakan kepada PT. Susanto Dwi Rezeki, semuanya adalah berdasarkan transaksi jual beli pupuk yang sebenarnya. Dan PPN sebesar 10 persen dari nilai transaksi, semuanya juga sudah dibayarkan oleh terdakwa serta sudah diterima oleh PT. Eka Tri Mandiri dan CV Sukses Mandiri. Bahkan sudah dibayarkan juga ke Kas Negara,” sambungnya.
Persoalan muncul dikatakan Saiful, ketika adanya keterangan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari saksi yang menerangkan bahwa ada beberapa faktur PPN di tahun 2013 sampai 2015 yang jumlahnya 47 lembar.
“Didalam keterangan BAP, saksi Eka mengatakan ada beberapa faktur PPN yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, atau dengan kata lain faktur itu dibuka tapi tidak ada transaksi jual beli pupuk non subsidi. Akan tetapi dihadapan persidangan ternyata saksi tersebut membantah keterangan yang ada di BAP tersebut. Bahkan keterangan saksi yang dinyatakan dihadapan sidang adalah bahwa semua faktur PPN yang dibukakan itu sudah sesuai transaksi yang sebenarnya. Bahkan kewajiban pajak yang nilainya 10 persen dari transaksi juga sudah disetorkan ke kas negara,” tegas kuasa hukum Dwi Riko Susanto tersebut.
Demikian juga pada surat dakwaan. Saiful mengatakan bahwa semua surat dakwaan sudah dirincikan oleh JPU yang mana data itu diperoleh dari penyidik pajak dan sudah teridentifikasi bahwa semuanya sudah terbayar dengan lunas.
“Artinya tidak ada lagi kewajiban pajak yang kurang bayar,” katanya.
Atas keterangan saksi Eka pada persidangan Minggu lalu karena tidak sesuai dengan BAP yang ada, Saiful pun mengatakan bahwa hari ini dilakukan pemeriksaan konfrontir.
“Dalam hal ini dihadirkan kembali saksi Eka Septian, untuk dikonprontasi dengan saksi perbalisan, dalam hal ini adalah penyidik pajak. Namun fakta yang kami temukan dipersidangan ternyata lebih dalam lagi. Saksi Eka mengatakan merasa tidak pernah membaca BAP yang dibuat oleh penyidik pajak, karena keadaan ketika saksi dibuatkan BAP, baru satu atau dua Minggu ditahan dalam perkara yang lain. Artinya saksi pada waktu itu dalam keadaan tertekan, kemudian masalah keluarga juga. Dengan permasalahan pribadi itu, saksi pada saat dibuatkan BAP langsung menandatanganinya tanpa membacanya terlebih dahulu,” urai Saiful.
Sedangkan sesuai SOP, KUHP, sambung Saiful, seorang penyidik setelah membuatkan Berita Acara Pemeriksaan, harus terlebih dahulu dibacakan kepada orang yang diperiksa.
“Hal itu tidak dilakukan oleh penyidik pajak. Namun walau tidak dibacakan, saksi Eka mengaku menandatangani BAP tersebut,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan Saiful, berdasarkan keterangan saksi Eka pada saat sidang sebelumnya, semua transaksi tidak ada yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
“Jadi faktur PPN itu adalah riil, nyata, dan sudah dibayar bahkan tidak ada kekurangan bayar.
Hal selanjutnya yang diakui Saiful didapat dalam fakta persidangan yaitu adanya peraturan yang dilanggar oleh penyidik pajak.
“Saksi Eka diambil keterangannya di hadapan penyidik pajak di bulan Juli tahun 2022. Tetapi tersangka baru diambil keterangannya untuk pertama kalinya di bulan Juni tahun 2023. Artinya rentang waktunya ini sudah 1 tahun.
Sedangkan SOP penyidikan untuk tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus karena adanya penyidik pajak yang diatur dalam ketentuan Direktur Jenderal Pajak, wajib menyampaikan laporan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada JPU melalui Kepolisian Republik Indonesia.
Dan ada peraturan yang mengatur tentang itu, peraturan itu adalah Keputusan DJP nomor 272/Pj/2022, yang mana bunyinya adalah, saat dimulainya penyidikan, penyidik pajak harus menyampaikan SPDP kepada JPU melalui Kepolisian Republik Indonesia dan kepada tersangka,” beber Saiful.
Dihadapan awak media Saiful juga mengatakan, didalam Pasal 9 juga menyatakan, dalam melaksanakan penyidikan, penyidik pajak harus berlandaskan pada KUHP. “Jadi tidak semata mata hanya mengacu pada peraturan perpajakan saja, karena ini bukan peradilan pajak, dan ini adalah sidang peradilan umum,” terang Saiful.
Tidak hanya itu, pada Pasal 11 disebutkan Saiful yang berbunyi, penyidik pajak wajib memberitahukan secara tertulis SPDP dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada JPU melalui Kepolisian Republik Indonesia.
“Artinya kita sama sama tahu bahwa aturan hukum di Indonesia, yang namanya PPNS dapat melaksanakan fungsi penyidikan tentu berdasarkan surat perintah tugas dari atasannya. Tetapi hasil dari penyidikannya itu dikirimkan kepada JPU melalui Kepolisian. Dengan kata lain, penyidik pajak tidak bersifat independen. Tapi tergantung kepada ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang penyidikan. Karena pengiriman SPDP dan hasil penyidikan melalui Kepolisian, dalam hal ini penyidik pajak juga harus tunduk pada peraturan yang ada di Kepolisian,” ungkap Saiful.
Batas waktu penyidikan diakui pria yang familiar dengan awak media ini juga sudah diatur dalam Perkap nomor 12 tahun 2009. “Jadi penyidikan itu dimulai terhitung sejak SPDP dikirimkan oleh penyidik kepada JPU, maksimal dalam 120 hari perkara yang sulit, maka SPDP akan dikembalikan karena berkas tidak lengkap, atau penyidikan belum sempurna. Artinya, ketika melampaui 120 hari, maka SPDP harus dikembalikan. Dan apabila bagi penyidik jika hendak melanjutkan, maka harus dimulai dari nol,” tegasnya.
Faktanya, sebut Saiful, saksi yang dihadirkan dalam persidangan ini diambil keterangannya pada tahun 2022. Sedangkan rersangka pertama kali diperiksa tanggal 8 Juni 2023. Sementara saksi kunci atasnama Eka Septian, untuk BAP nya diperiksa pada 20 juli 2022.
“Artinya apa?! Pertama, keterangan saksi ini cacat formil untuk memberikan keterangan tentang adanya peristiwa pidana terhadap terdakwa. Kedua, terdakwa Riko didalam BAP nya tidak pernah menerangkan bahwa ia pernah membeli faktur pajak dari siapapun, termasuk dari Eka Septian. Bahkan Eka Septian dihadapan persidangan juga sudah membantah bahwa dirinya tidak pernah menjual faktur pajak. Didalam persidangan saksi Eka juga mengatakan jika semua faktur pajak yang dibukakan kepada terdakwa Riko, semua adalah faktur pajak yang sebenarnya” pungkasnya.
“Namun bilamana mengacu pada keterangan yang ada di BAP yang menjadi landasan kenapa hari ini Dwi Riko Susanto didakwa dihadapan persidangan oleh karena adanya keterangan dari Eka Septian yang menanyakan apakah PT. Susanto Dwi Rezeki pernah meminta kepada saksi Eka untuk diterbitkan faktur pajak tanpa pembelian barang, itu sudah dibantah dihadapan persidangan bahwa hal tersebut tidak pernah ada,” demikian tutup Saiful.
Diketahui, sebelumnya Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai melalui Seksi Tindak Pidana Khusus, menerima pelimpahan berkas perkara dan tersangka atasnama Dwi Riko Susanto beserta barang bukti (Tahap II) dari Penyidik Direktorat Kantor Pajak Wilayah I Sumut, Kamis (21/3).
Pelimpahan berkas perkara dan tersangka tersebut dilaksanakan di Kantor Kejari Binjai, yang beralamat di Jalan T. Amir Hamzah, Kelurahan Jati Makmur, Kecamatan Binjai Utara.
Adapun Jaksa yang ditunjuk Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Binjai untuk menangani perkara ini adalah Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Hendar Rayid Nasution SH MH, dan para Kasubsi seperti Emil SH dan Anrinanda SH, beserta tim pada bidang Tindak Pidana Khusus Kejari Binjai.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Binjai, H. Jufri SH MH, tersangka Dwi Riko Susanto didakwakan melanggar Pasal 39A huruf a dan atau pasal 39 ayat (1) huruf D Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. (kus)